oleh: RHF
Kalau orang Madura disebut sebagai muslim yang kolot, taat, fanatik dan selalu menempatkan kesenian atau seluruh perangkat kebudayaan yang bercirikan Islam sebagai yang tertinggi, sebagaimana banyak ditulis oleh para sosiolog, antropolog maupun etnolog Madura sebutlah John Smith, Anke Neihof, Roy Jordaan, Ellen Town Bousma, Helena Bouvier atau Kuntowijoyo.
Kalau orang Madura disebut sebagai muslim yang kolot, taat, fanatik dan selalu menempatkan kesenian atau seluruh perangkat kebudayaan yang bercirikan Islam sebagai yang tertinggi, sebagaimana banyak ditulis oleh para sosiolog, antropolog maupun etnolog Madura sebutlah John Smith, Anke Neihof, Roy Jordaan, Ellen Town Bousma, Helena Bouvier atau Kuntowijoyo.
Tentu bukan hanya karena hasrat masyarakatnya yang menggelegak untuk segera melunaskan ibadah haji dan kemudian merasa alim dan jeri dari tingkah dosa dengan tambahan gelar Haji di depan namanya. Sekalipun untuk itu mereka rela menjual rumah, tanah, kendaraan atau apapun harta yang dimilikinya sampai tak ada lagi yang tersisa. Sehingga banyak para materialist meremehkan mereka sebagai orang yang tidak rasional dan memutus harapan masa depan.
Juga bukan karena para lelakinya yang kemana-mana bangga dengan hanya selalu memakai kopiah dan sarung, pakaian wajib untuk menunaikan sholat. Atau perempuannya cukup dengan baju kuthubaru dan kerudung menutupi kepalanya demi menyimpan aurat sebagaimana diperintahkan Islam.
Juga tentu saja bukan karena masyarakatnya yang sangat maklum bila banyak di antara para lelakinya punya istri hingga empat orang sebagaimana dipercaya sebagai sunnah Rasulullah. Dan para perempuannyapun tak hirau harus hidup serumah dengan para madunya. Baginya punya anak dan membesarkannya dengan penuh tanggung jawab dua pihak adalah akhir dari cinta. Dan mereka tak kurang sejumputpun cinta lelaki suami diantara riuhnya perempuan yang dinikahinya. Tak ada ruang untuk saling iri. Justru mereka sukarela untuk saling bekerja sama membesarkan anak-anak keluarga besar mereka dengan damai dan cinta kasih.
Lalu mengapa? Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang sangat Islami?
Sudah tamat saya keliling seluruh Indonesia mengamati seluruh arsitektur dan keterkatannya dengan kondisi sosio kultural masyarakatnya. Sudah pula kami amati bagaimana manusia dan masyarakatnya berinteraksi dengan ruang-ruang yang dibangunnya di atas hamparan bumi Ilahi. Dari ujung Barat pulau di seberang Malahayati hingga ke Timur di Merauke. Bahkan di negeri mashur tempat puncak kejayaan Islam dan di seluruh literatur arsitektur Islam yang sempat saya baca. Tidak ada satupun tempat sebagaimana rumah tradisional masyarakat Madura yang menjadikan surau sebagai elemen penting yang harus ada melebihi fungsi bangunan lainnya.
Surau di dalam lingkungan rumah tradisional keluarga Madura adalah bangunan kedua yang selalu di bangun sesudah rumah induk (roma tongghu). Biasanya selalu ditempatkan di sebelah Barat atau arah kiblat. Dan di depannya terhampar tanean lanjhang (halaman yang panjang) yang terbentuk karena perkembangan pembangunan rumah selanjutnya yang dibangun berjejer berturut-turut di sebelah rumah induk untuk anak-anak perempuan dan keluarganya.
Perletakan surau betul-betul menjadi sumbu utama yang mengikat keseluruhan bangunan di dalam satuan komunitas (soma) keluarga-keluarga besar Madura. Surau selain untuk sholat dan mengaji biasanya juga dijadikan tempat tidur anak lelaki mereka yang belum berkeluarga dan para tamu lelaki yang datang menginap. Pada titik ini surau telah menjadi ruang transisi atau ruang antara yang memisah gender lelaki dan wanita. Suatu taktik jitu untuk menghindarkan nista. Tanpa disadari tamu pun mahfum bahwa ruang mukim Madura sedemikian rupa di jenjang dalam tahap-tahap yang sistematik. Antara ruang publik dan ruang privat, ruang lelaki dan ruang wanita, ruang profan dan ruang sakral, ruang anak dan ruang tetua, ruang keluarga sendiri (oreng dhibi’) atau bukan (oreng laen). Semuanya memiliki tatakrama-nya sendiri.
Secara visual dan audial, surau membangun atmosfir Islami yang sangat sempurna. Bentuk atap yang lancip dengan lantai agak lebih tinggi dari bangunan lain menjadikan surau bagai pemimpin di tengah massa yang lain. Dinding depan yang agak rendah dan semi terbuka menampilkan irama gerak sholat yang rampak dengan takbir yang bersahutan. Lima kali sehari suaranya mengumandangkan azdan setiap menjelang waktu solat. Anak-anak tanpa diaba saling berebut untuk menjadi muadzin dan bergegas meninggalkan apapun yang sedang mereka kerjakan. Pun para orang tua juga hirau meninggalkan apapun kegiatannya untuk berjamaah dan memimpin anak-anak mereka tunaikan solat. Dan sesekali diberinya kesempatan remaja mereka yang mulai fasih melafadz sedikit al-Qur’an untuk menjadi imam dan merasai peran kepemimpinan yang akan dipikulnya kelak. Dari ketinggian atap langit tampak surau dan rumah-rumah keluarga Madura sebagai unit-unit yang padan dalam panduan sumbu kiblat.
Ketika fajar menyingsing, surau mulai meneriakkan ajakan subuh bersama. Itulah waktu pertama dimulainya hari hidup ke depan sebelum anak-anak mereka bergegas menuntut ilmu dan para orang tua mengais rahmat Allah. Ketika terik langit tergelincir dari puncaknya, dhuhur segera ditegakkan. Sesudahnya, sanak keluarga berkumpul untuk sekadar makan siang dalam keriuhan bersama. Lalu merekapun istirahat sejenak sampai cahaya matahari telah lepas dan bayangannya melebihi panjangnya benda, petanda ashar telah tiba. Sesudahnya riuh anak berlarian diantara pandangan kasih sanak keluarganya di tengah tanean lanjang yang bersinggungan dengan beranda rumah-rumah yang berjejer. Dan ketika langit merah telah usai ditimpa bulan yang masuk ke semburat langit seluruh keluarga dan berayat bergegas siap mengambil tempat untuk berebut shaf paling depan dalam barisan jemaah maghrib. Dan sesudahnya anak-anak mereka reriung belajar membaca al-Qur’an pada orang tua pemimpin mereka sampai saat Isya tiba. Di tengah temaram lentera riuh ayat demi ayat membubung ke langit sunyi tempat semayam para malaikat.
Demikianlah masa demi masa berlalu dengan penuh pembinaan dan hikmah. Surau telah mengambil peran yang begitu penting dalam hidup orang Madura. Keheningannya mengumandangkan nuansa Islami yang sempurna sejak hidup dijejak sampai ajal menjemput. Penghuni rumah dalam tanean lanjhang itu datang silih berganti bersamaan dengan usainya batas usia mereka. Dan surau itu masih saja setia menunaikan tugasnya… the truly Islamic semiotica…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar