Di Era Industrialisasi Arsitek tidak lagi menjadi sang pencipta yang mandiri tetapi sekadar perangkai produk-produk yang sudah ada. Dunia kehidupan kita kini banyak disuguhi kabar konflik dan kejahatan dalam banyak cara, Saatnya kita kedepankan kedamaian dan kasih sayang . Arsitektur publik sudah saatnya dibangun melalui proses sayembara agar dihasilkan karya yang kredibel . Teknologi Informasi dan komunikasi sudah sangat berkembang. Saatnya membangun inovasi kreatif untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Jangan terkecoh oleh media sosial yang mengajak pada perpecahan. Selalu sampaikan salam damai dan kasih sayang

Jumat, 04 Desember 2015

Benteng Keraton: Sisa Kemasyhuran Kesultanan Buton

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam perkembangan arsitektur tradisi dan kekuasaan yang menyertainya. Salah satunya adalah Kesultanan Buton di Bau Bau Sulawesi Tenggara. 
Sekitar 45 menit perjalanan darat dari Bandara Bau Bau kita akan sampai ke Benteng Keraton Buton.
Benteng ini merupakan bekas ibukota Kesultanan Buton dengan  bentuk arsitektur yang cukup unik, terbuat dari batu kapur/gunung. Benteng berbentuk lingkaran ini dengan panjang keliling 2.740 meter. Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan september 2006 sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektare.

Benteng ini memiliki 12 pintu gerbang yang disebut Lawa dan 16 emplasemen meriam yang mereka sebut Baluara. Karena letaknya pada puncak bukit yang tinggi dengan lereng terjal memungkinkan tempat ini sebagai pertahanan terbaik di zamannya. Dari tepi benteng yang sampai saat ini masih berdiri kokoh dapat menikmati pemandangan kota Bau-Bau dan hilir mudik kapal di selat Buton dengan jelas dari ketinggian, Pemandangan yang menakjukkan. Di dalam kawasan benteng dapat dijumpai berbagai peninggalan sejarah Kesultanan Buton seperti keraton, masjid tanpa tiang yang masih asli dan tiang bendera kayu jati menjulang sebagai ikon kemenangan terhadap penjajah Belanda serta satu batu berlubang untuk tempat pengambilan sumpah raja-raja kesultanan Buton.


Benteng Keraton Buton dibangun pada abad ke-16 oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin (1591-1596). Pada awalnya, benteng tersebut hanya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang disusun mengelilingi komplek istana dengan tujuan untuk mambuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat sekaligus sebagai benteng pertahanan. Pada masa pemerintahan Sultan Buton IV yang bernama La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin, benteng berupa tumpukan batu tersebut dijadikan bangunan permanen.

Pada masa kejayaan pemerintahan Kesultanan Buton, Benteng Keraton Buton memberi pengaruh besar terhadap eksistensi Kerajaan. Dalam kurun waktu lebih dari empat abad, Kesultanan Buton bisa bertahan dan terhindar dari ancaman musuh. Dari tepi benteng yang sampai saat ini masih berdiri kokoh anda dapat menikmati pemandangan kota Bau-Bau dan hilir mudik kapal di selat Buton dengan jelas dari ketinggian

Benteng Keraton Buton terdiri dari tiga bagian yaitu Badili, Lawa dan Baluara.

1. Badili
Obyek wisata ini merupakan meriam yang terbuat dari besi tua yang berukuran 2 sampai 3 depa. Meriam ini bekas persenjataan Kesultanan Buton peninggalan Portugis dan Belanda yang dapat ditemui hampir pada seluruh benteng di Kota Bau-Bau.

2. Lawa
Dalam bahasa Wolio berarti pintu gerbang. Lawa berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung yang berada di sekeliling benteng keraton. Terdapat 12 lawa pada benteng keraton. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat mewakili jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga benteng keraton diibaratkan sebagai tubuh manusia. Ke-12 lawa memiliki masing-masing nama sesuai dengan gelar orang yang mengawasinya, penyebutan lawa dirangkai dengan namanya. Kata lawa diimbuhi akhiran 'na' menjadi 'lawana'. Akhiran 'na' dalam bahasa Buton berfungsi sebagai pengganti kata milik "nya". Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda tapi secara umum dapat dibedakan baik bentuk, lebar maupun konstruksinya ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan dengan kayu, semacam gazebo di atasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat. 12 Nama lawa di antaranya : lawana rakia, lawana lanto, lawana labunta, lawana kampebuni, lawana waborobo, lawana dete, lawana kalau, lawana wajo/bariya, lawana burukene/tanailandu, lawana melai/baau, lawana lantongau dan lawana gundu-gundu.

3. Baluara
Kata baluara berasal dari bahasa portugis yaitu baluer yang berarti bastion. Baluara dibangun sebelum benteng keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa pemerintahan La Elangi/Dayanu Ikhsanuddin (sultan buton ke-4) bersamaan dengan pembangunan 'godo' (gudang). Dari 16 baluara dua diantaranya memiliki godo yang terletak diatas baluara tersebut. Masing-masing berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan mesiu. Setiap baluara memiliki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan dan tempatnya. Nama-nama baluara dinamai sesuai dengan nama kampung tempat baluara tersebut berada. Nama kampung tersebut ada di dalam benteng keraton pada masa Kesultanan Buton.

16 Nama Baluara yaitu : baluarana gama, baluarana litao, baluarana barangkatopa, baluarana wandailolo, baluarana baluwu, baluarana dete, baluarana kalau, baluarana godona oba, baluarana wajo/bariya, baluarana tanailandu, baluarana melai/baau, baluarana godona batu, baluarana lantongau, baluarana gundu-gundu, baluarana siompu dan baluarana rakia.



Tidak ada komentar: