LADANG MENGUNING
kemarin masih sempat kulihat ladang itu
hijaunya tersenyum melambai-lambai matahari
memendam rindu dinginnya langit
dan keringat para malaikat yang menggumpal-gumpal
terbelenggu benalu emas
kemarin masih sempat kusemai ladang itu
semerbak basah tanahnya melambung ditunggang angin barat
mengalunkan sukacita dalam gaduh puja pujangga
dari perut kerabat yang menganga ditengah belanga
dan dinding-dinding rahim yang ranum merona
Kini,
ketika suluh subuh beranjak dewasa
dan rimbun ladang mulai menguning renta
dalam rintih pagi yang runtuh bersama nyerinya cuka
dimana-mana suara tangis berdenting kerontang
dan disini,
dibalik bilik yang tegar rapat mengunci
kerling mata dan sungging bibir para pemimpin
mendengus lirih nyaris tak bersuara
menabur ranjau yang serak tanpa tawa
jejaknya menjalar menusuk sungai yang lapar
napasnya gundah menatap para tukang yang telanjang
lepuh kulit cahaya kertas para peracang
duhai, tak pernah kutahu
disini,
putih buih para ilmuwan
telah luruh berkeping-keping
menyisakan luka yang makin dalam
Depok, 12 Juli 2008
EMBUN
Embun..
sejak kapan kau ciptakan matahari?
yang panasnya melelehkan sekujur puisiku
merahnya memenjarakan rinduku
dan memisahkan darah dari selimut malamku
tatap tataplah kering gubukku
riuhnya telah temaram dalam hampa
bisu tak kuasa menyapa rintih hujan yang memesona di pelupuk melati
embun..
kemarilah
biarkan selimut panasmu kulampirkan tirai di himpit ufuk yang renta
tengok-tengoklah purnama yang meronta ronta dalam gulita
senyum senyumlah
embun..embunku…
kemarilah
Depok, 7 Oktober 09
RINDU
mungkin kini belum juga engkau tahu
bila kepakmu merayap di dingin malam
dan suara sunyi mulai membubung langit
aku pilu di hempas rindu
tapi bukan karena engkau tak ada disini
bukan juga karena engkau jauh di ufuk sana
justru karena aku tak mampu menghela
denyut nafasmu yang masih tersisa
aku rindu..
tapi aku tak mau engkau tahu
Bintaro 2012
MATA
malam itu aku menunggu
sinar gemerlap berkelebat di ujung mata
seperti mimpi semalam ketika aku tak mampu terjaga
diam..diamlah sebentar
aku hanya butuh menyapa
tidak dengan kata-kata
tetapi dari kaca yang berbulir-bulir di matamu
Bintaro, 10 Oktober 2012
MARKONAH
waktu itu aku tak begitu mengerti apa yang harus aku lakukan
ketika tiba-tiba tanganku lincah menari
bukan karena pengetahuanku
bukan pula karena gigihku
tapi karena denyut yang menghamba
pada Engkau yang menjalar di atas bilik-bilik kata
waktu itu aku juga tahu Engkau pun tak mengerti
bahwa cinta itu telah ada
karena Engkau Markonah
iya..karena Engkau
Bintaro, 2012
SEMINGGU SEKALI AKU RINDU
mungkin hampir seminggu sekali aku rindu
pada villa, hotel dan rumah yang bergantung-gantung anggur
langitnya sunyi menabur sirih dan kayuputih
tanahnya subur berhampar rumput yang baru dicukur
aku juga yang melakukannya
aku juga yang menyiramnya
aku juga yang menyemainya
Iya benar..
hampir seminggu sekali aku memimpi cakrawala
sambil menari menyanyikan airmata
yang membasuh samudera
aku coba hitung sudah berapa kata kupinta
dan berapa kata kukirimkan pada kelopak bunga di sela senja
aku tak pernah hirau telah berapa lelah kutimba
karena aku suka
karena aku ingin
karena aku tahu bahwa ujung penaku tak pernah selesai kutuliskan
aku tak butuh lagi tanya dan alasan
aku telah berikan seluruh abjad yang aku punya
dan tinta yang tak pernah kandas
rasanya seminggu sekali aku berkata..
aku suka..
Depok, 2013
SEANDAINYA ENGKAU TAHU
Coba kau eja lagi kata demi kata yang terhampar di lembar ombak yang menggulung
Coba kau hitung lagi berapa riuh yang terdengar di ujung pinus yang tertimpa angin
Coba kau lihat lagi sinarnya yang menyergap di balik bebatuan yang makin dalam
Mungkin engkau tak hirau betapa lautmu telah penuh oleh dahaga
Mungkin engkau lupa telah berapa musim rimbunnya hutan menutup awan
Mungkin engkau telah silau oleh gelapnya tubuh yang tertimpa nikmat
Seandainya engkau tahu
Tak butuh lagi engkau meratapi buih yang terus tak henti berkejaran
Yang tariannya tak pernah merasakan kelelahan
Tak butuh lagi engkau menepikan telinga untuk menyisakan angin
Yang desirnya tak pernah kau dengar dimana ujungnya
Tak butuh lagi engkau menuai sinar yang tak kan mampu kau raih
Yang lembutnya menembus sunyi di ujung langit
Seandainya engkau tahu
Tentu tak kan berani lagi engkau menjejak langkahmu yang salah arah
Bahkan mungkin tak sanggup lagi engkau menyisakan wajah di tepian matahari
Dan menaburkan jelaga di atas kelopak tunas yang telah lama disemai
Tapi sudahlah...
Coba kau hitung lagi berapa riuh yang terdengar di ujung pinus yang tertimpa angin
Coba kau lihat lagi sinarnya yang menyergap di balik bebatuan yang makin dalam
Mungkin engkau tak hirau betapa lautmu telah penuh oleh dahaga
Mungkin engkau lupa telah berapa musim rimbunnya hutan menutup awan
Mungkin engkau telah silau oleh gelapnya tubuh yang tertimpa nikmat
Seandainya engkau tahu
Tak butuh lagi engkau meratapi buih yang terus tak henti berkejaran
Yang tariannya tak pernah merasakan kelelahan
Tak butuh lagi engkau menepikan telinga untuk menyisakan angin
Yang desirnya tak pernah kau dengar dimana ujungnya
Tak butuh lagi engkau menuai sinar yang tak kan mampu kau raih
Yang lembutnya menembus sunyi di ujung langit
Seandainya engkau tahu
Tentu tak kan berani lagi engkau menjejak langkahmu yang salah arah
Bahkan mungkin tak sanggup lagi engkau menyisakan wajah di tepian matahari
Dan menaburkan jelaga di atas kelopak tunas yang telah lama disemai
Tapi sudahlah...