Di Era Industrialisasi Arsitek tidak lagi menjadi sang pencipta yang mandiri tetapi sekadar perangkai produk-produk yang sudah ada. Dunia kehidupan kita kini banyak disuguhi kabar konflik dan kejahatan dalam banyak cara, Saatnya kita kedepankan kedamaian dan kasih sayang . Arsitektur publik sudah saatnya dibangun melalui proses sayembara agar dihasilkan karya yang kredibel . Teknologi Informasi dan komunikasi sudah sangat berkembang. Saatnya membangun inovasi kreatif untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Jangan terkecoh oleh media sosial yang mengajak pada perpecahan. Selalu sampaikan salam damai dan kasih sayang

PUISI

LADANG MENGUNING

kemarin masih sempat kulihat ladang itu
hijaunya tersenyum melambai-lambai matahari
memendam rindu dinginnya langit
dan keringat  para malaikat yang menggumpal-gumpal
terbelenggu benalu emas

kemarin masih sempat kusemai ladang itu
semerbak basah tanahnya melambung ditunggang angin barat
mengalunkan sukacita dalam gaduh puja pujangga
dari perut kerabat yang menganga ditengah belanga
dan dinding-dinding rahim yang ranum merona

Kini,
ketika suluh subuh beranjak dewasa
dan rimbun ladang mulai menguning renta
dalam rintih pagi yang runtuh bersama nyerinya cuka
dimana-mana suara tangis berdenting kerontang

dan disini,
dibalik bilik yang tegar rapat mengunci
kerling mata dan sungging bibir para pemimpin
mendengus lirih nyaris tak bersuara
menabur ranjau yang serak tanpa tawa
jejaknya menjalar menusuk sungai yang lapar
napasnya gundah menatap para tukang yang telanjang
lepuh kulit cahaya kertas para peracang

duhai, tak pernah kutahu
disini,
putih buih para ilmuwan
telah luruh berkeping-keping
menyisakan luka yang makin dalam

Depok, 12 Juli 2008

EMBUN

Embun..
sejak kapan kau ciptakan matahari?
yang panasnya melelehkan sekujur puisiku
merahnya memenjarakan rinduku
dan memisahkan darah dari selimut malamku

tatap tataplah kering gubukku
riuhnya telah temaram dalam hampa
bisu tak kuasa menyapa rintih hujan yang memesona di pelupuk melati

embun..
kemarilah
biarkan selimut panasmu kulampirkan tirai di himpit ufuk yang renta
tengok-tengoklah purnama yang meronta ronta dalam gulita
senyum senyumlah

embun..embunku…
kemarilah
Depok, 7 Oktober 09


RINDU

mungkin kini belum juga engkau tahu
bila kepakmu merayap di dingin malam

dan suara sunyi mulai membubung langit
aku pilu di hempas rindu

tapi bukan karena engkau tak ada disini
bukan juga karena engkau jauh di ufuk sana
justru karena aku tak mampu menghela

denyut nafasmu yang masih tersisa

aku rindu..
tapi aku tak mau engkau tahu

Bintaro 2012

MATA

malam itu aku menunggu
sinar gemerlap berkelebat di ujung mata

seperti mimpi semalam ketika aku tak mampu terjaga
diam..diamlah sebentar

aku hanya butuh menyapa
tidak dengan kata-kata
tetapi dari kaca  yang berbulir-bulir di matamu

Bintaro, 10 Oktober 2012

MARKONAH

waktu itu aku tak begitu mengerti apa yang harus aku lakukan
ketika tiba-tiba tanganku lincah menari

bukan karena pengetahuanku
bukan pula karena gigihku

tapi karena denyut yang menghamba
pada Engkau yang menjalar di atas bilik-bilik kata

waktu itu aku juga tahu Engkau pun tak mengerti
bahwa cinta itu telah ada

karena Engkau Markonah
iya..karena Engkau

Bintaro, 2012


SEMINGGU SEKALI  AKU RINDU

mungkin hampir seminggu sekali aku rindu
pada villa, hotel dan rumah yang bergantung-gantung anggur

langitnya sunyi menabur sirih dan kayuputih
tanahnya subur  berhampar rumput yang baru dicukur

aku juga yang melakukannya
aku juga yang menyiramnya
aku juga yang menyemainya

Iya benar..

hampir seminggu sekali aku  memimpi cakrawala
sambil menari menyanyikan airmata 
yang membasuh samudera

aku coba hitung sudah berapa kata kupinta
dan berapa kata kukirimkan pada kelopak bunga di  sela senja

aku tak pernah  hirau telah berapa lelah kutimba
karena aku suka
karena aku ingin

karena aku tahu bahwa ujung penaku tak pernah selesai kutuliskan
aku tak butuh lagi tanya  dan alasan

aku telah  berikan seluruh abjad yang aku punya
dan tinta yang tak pernah kandas 

rasanya seminggu  sekali aku berkata..
aku suka..

Depok, 2013

SEANDAINYA ENGKAU TAHU

Coba kau eja lagi kata demi kata yang terhampar di lembar ombak yang menggulung
Coba kau hitung lagi berapa riuh yang terdengar di ujung pinus yang tertimpa angin
Coba kau lihat lagi sinarnya yang menyergap di balik bebatuan yang makin dalam

Mungkin engkau tak hirau betapa lautmu telah penuh oleh dahaga
Mungkin engkau lupa telah berapa musim rimbunnya hutan menutup awan
Mungkin engkau telah silau oleh gelapnya tubuh yang tertimpa nikmat

Seandainya engkau tahu

Tak butuh lagi engkau meratapi buih yang terus tak henti berkejaran
Yang tariannya tak pernah merasakan kelelahan
Tak butuh lagi engkau menepikan telinga untuk menyisakan angin
Yang desirnya tak pernah kau dengar dimana ujungnya
Tak butuh lagi engkau menuai sinar yang tak kan mampu kau raih
Yang lembutnya menembus sunyi di ujung langit

Seandainya engkau tahu

Tentu tak kan berani lagi engkau menjejak langkahmu yang salah arah
Bahkan mungkin tak sanggup lagi engkau menyisakan wajah di tepian matahari
Dan menaburkan jelaga di atas kelopak tunas yang telah lama disemai

Tapi sudahlah...