Polisi tidur?. Pasti semua tahu. Sebuah gundukan yang dipasang melintang di tengah jalan. Sengaja dibuat untuk mengatur laju berkendara agar aman dari kecelakaan.
Siapa yang memulai gagasan ini? Entahlah. Yang pasti ini satu gagasan otoriter dan arogan. Pemecahan masalah dengan cara memaksa akibat kekecewaan pada kata-kata dan simbol-simbol komunikasi yang tak digubris lagi karena sudah kehilangan maknanya. Dan, mengapa dinamai polisi tidur? satu “istilah” yang jelas disengaja bernada penghinaan untuk korps polisi. Setiap saat, sebuah image institusi dilindas dengan penuh sumpah dan serapah. Kasihan…. Mungkin ini juga bahasa lain dari bentuk kekecewaan terhadap ketidakmampuan korps kepolisian dalam pengaturan lalu lintas berkendara.
Karena polisi tidur, tidak sedikit orang yang justru jatuh dan celaka. Tukang ojek yang biasa saya tumpangi seringkali mengeluh. Paling lama dua bulan schockbreaker harus diganti. Dan hampir setiap hari penumpang perempuan dan wanita hamil marah-marah karena rem kurang pakem saat melintas polisi tidur.
Dulu polisi tidur hanya dibuat di jalan-jalan kecil dalam kampung. Kini di jalan raya yang seharusnya memungkinkan kendaraan dengan laju cepat, ada juga polisi tidur. Coba lewat jalan raya Kopassus dari Cijantung sampai perempatan jalan Kelapadua Depok! Ada 73 polisi tidur. Jarak terpendek antar polisi tidur ada yang hanya 3 meter. Huhhhh… Ini bukan lagi “gagasan mengatur” tetapi “gagasan tidak menyenangkan”. Anehnya institusi polisi pun melegalkan rambu ini.
Fenomena apa ini?
Dulu waktu pertama kali tinggal di Kota Malang, di jalan-jalan kampung banyak rambu papan di gantung dengan tulisan peringatan begini: “awas pelan banyak anak-anak” disertai gambar anak berkerumun. Rupanya seiring perjalanan waktu ada pergeseran peringatan yang mulai bernada sedikit mengancam :”ngebut benjut ” dan yang lebih parah lagi :”nyerempet, diseret” atau “nabrak, habis” dan tak ketinggalan gambar tengkorak dan pentungan…!!
Kini semua tulisan peringatan itu sudah jarang. Tampaknya kata-kata tidak cukup bermakna bagi pengendara. Bahasa sudah kehilangan manfaat komunikatifnya. Apalagi hanya dengan simbol-simbol batas kecepatan dan gambar orang menyeberang. Dijamin tidak akan digubris. Dan tidak ampuh lagi sebagai bahasa manusia beradab.
Tampaknya, masyarakat kita lebih memilih kesepakatan dengan cara memaksa. Untuk menghambat laju kendaraan muncul ide “dendam” lebih mudah dengan gundukan yang tidak menyenangkan, daripada memberi peringatan dengan rambu lalu lintas berupa simbol-simbol dan kata-kata, apalagi sekadar mengharapkan pengertian bahwa berkendara di jalan lingkungan sebaiknya pelan. Kita sudah kehilangan empati satu sama lain. Pengendara dan penggagas polisi tidur saling berseberangan dan hanya berpikir dengan pemahamannya masing-masing. Tidak ada kompromi dan kesepakatan yang saling menyenangkan.
Kini kita hanya bisa jalani ini semua dengan kemarahan. Tak ada solusi. Pernah di satu jalan, pengendara motor (para tukang ojek) tengah malam diam-diam membongkar satu polisi tidur. Tiga hari berikutnya polisi tidur itu sudah diperbaiki dan semakin tinggi gundukannya. Dan gundukan tak lagi dibiarkan sendiri. Ada patroli khusus yang memantau setiap malam. Sebuah operasi persiapan keributan massal…!!
Ha..ha.. Kok…masyarakat kita maunya begitu. Mana gotong royong itu. Mana senyuman itu? Mana kesantunan masyarakat agamis yang seringkali diperbandingkan lebih tinggi dengan bangsa lain yang selalu distigma sekuler.
Dulu kalau mau ambil SIM kita sering diuji dengan arti rambu…
Kini…? rasanya tak perlu lagi……..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar