Di Era Industrialisasi Arsitek tidak lagi menjadi sang pencipta yang mandiri tetapi sekadar perangkai produk-produk yang sudah ada. Dunia kehidupan kita kini banyak disuguhi kabar konflik dan kejahatan dalam banyak cara, Saatnya kita kedepankan kedamaian dan kasih sayang . Arsitektur publik sudah saatnya dibangun melalui proses sayembara agar dihasilkan karya yang kredibel . Teknologi Informasi dan komunikasi sudah sangat berkembang. Saatnya membangun inovasi kreatif untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Jangan terkecoh oleh media sosial yang mengajak pada perpecahan. Selalu sampaikan salam damai dan kasih sayang

Minggu, 03 Agustus 2014

Mengunjungi Masjid Jamik Sumenep Madura

Masjid Jamik dilihat dari arah Alun-alun Kota
Masjid Jamik Sumenep dibangun pada masa pemerintahan Adipati Pangeran Natakusuma I alias Panembahan Somala (1762-1811 M) yang memiliki nama asli Aria Asirudin Natakusuma. Masjid dibangun karena masjid sebelumnya terlalu kecil dan tidak mampu menampung lagi jumlah jemaah yang makin meningkat sejalan perkembangan Islam di Madura. Masjid sebelumya dikenal dengan nama Masjid Laju yang dibangun oleh Pangeran Anggadipa (Adipati Sumenep, 1626-1644 M). 
Arsitek pembangunan Masjid Jamik Sumenep adalah Lauw Ping Aw, cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan salash satu dari enam orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Ia diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut ‘Huru-hara Tionghwa’ (1740 M).
Lauw Ping Aw selain menjadi arsitek masjid juga dipercaya sebagai arsitek pembangunan keraton Sumenep. Karenanya banya kemiripan yang dapat ditemui pada kedua bangunan tersebut.

Poros yang terbentuk menuju Keraton Sumenep
Unsur yang paling menarik dari bangunan masjid Jamik Sumenep terutama terletak pada pintu gerbangnya yang tampak kokoh dan megah. Bangunan gerbang terletak di sebelah Timur menghadap alun-alun sumenep dan membentuk sumbu ke arah Timur dimana Keraton berada. Kono menurut penjelasan petugas Museum. Masjid Jamik sengaja dibuat membentuk poros dengan keraton sebagai simbol diterima Islam dalam lingkungan Keraton. Adipati Natakusuma seringkali melaksanakan ibadah solat secara berjamaah terutama pada waktu subuh , magrib dan Isya di Masjid Jamik dengan berjalan kaki dari Keraton.
Ilustrasi Panembahan dan Prajurit
Bentuk gerbang masjid secara mencolok merupakan bentuk akulturasi dari arsitektur Cina. Hal ini dapat dilihat dari ornamentasi sulur geometris yang ada di sepanjang mahkota gerbang. Warna kuning juga sangat mennjol sebagai warna yang banyak ditemui di dalam arsitktur Cina. Pintu yang tebal dengan ornamen bulat menonjol mengingatkan pada pintu yang digunakan pada bangunan istana di Forbidden city Beijing. Pada bagian dalam juga terdapat pelengkung (vault) yang sangat khas Cina. Pada bagian atap gerbang juga terlihat atap limas tembok yang sudah dimodifikasi dengan bentuk lengkung dan ornamen mahkota yang tak pernah ada di dalam khasanah arsitektur Indonesia. Secara umum gerbang dengan bentuk yang kokoh dan ornamen cina juga menginspirasi arsitektur Eropa yang merupakan representasi pemerintahan tak langsung Hindia Belanda di Sumenep. Pada beberapa bagian unsur bentuk gerbang masjid juga memiliki kemiripan dengan bangunan makam raja-raja sumenep asta tengghi di Kebonagung.
Di depan gerbang utama masjid
Bangunan utama masjid tidak terlalu berbeda dengan beberapa masjid di Jawa pada saat itu seperti masjid demak, ampel dan banten. Atap berbentuk limas joglo dan penopang tiang di bagian dalam. Jendela dan pintu bangunan utama masjid merepresentasikan ornamen ukir khas Madura dengan warna yang sangat mencolok perpaduan warna hijau, merah dan prada. Pada bagian mihrab masjid dihiasai dengan keramik khas cina. 
Secara fungsional, bangunan masjid jamik terdapat hal yang unik yaitu dengan adanya bangunan joglo pada bagian depan kiri dan kanan yang berfungsi sebagai tempat istirahat para musafir yang datang ke sumenep. Bangunan di sebelah kiri untuk pengunjung wanita dan bangunan di sebelah kanan untuk pengunjung laki-laki. Dengan luas area yang mencapai 1,2 Ha pada tahun 1990 masjid direnovasi dengan penambahan bangunan pada bagian depan. Namun sayang sekali penambahan bangunan tidak terlalu memperhatikan aspek keselarasan dengan bangunan lama. Bangunan tambahan tidak memperhatikan detail dan unsur kesatuan dengan bangunan aslinya. 

Tidak ada komentar: