Sepintas ketika kita melihat dan menilai makna rumah, yang tergambar adalah dinding, lantai, atap, pintu, jendela, warna dan seluruh pernak-pernik fisiknya. Ada juga sebagian orang menggambarkan rumah dari fungsi, kelengkapan ruang dan besarannya seperti jumlah kamar tidur, kamar mandi, ruang keluarga, dan lainnya. Lebih dari itu banyak juga orang lebih antusias menggambarkan rumah dari sejarah dan kenangan yang melekat pada rumah itu. Rumah adalah ruang kehidupan, suasana dan medium aktifvitas keseharian yang berlangsung terus menerus sepanjang ia masih ada. Maka rumah bisa menjadi tafsir yang dapat dibaca sebagai teritori, hirarki, eksistensi, watak dan seluruh komposisi nilai, doktrin dan prinsip-prinsip hidup yang dianut penghuninya.
Rumah Keluarga H.Syakranie adalah rumah kenangan bagi keluarga dan keturunannya. H.Syakranie adalah seorang perantau dari tanah Bugis Sulawesi. Tidak ada satupun dari keturunannya yang tahu pasti kapan H.Syakranie mulai menetap di Madura. Kini tak ada satupun juga keluarganya yang tahu kapan rumah itu mulai dibangun. Sudah 5 generasi rumah itu memberikan manfaatnya. Dan selama itu pula rumah ini menyediakan dirinya sebagai atribut eksistensial bagi keluarga dan keturunannya. Ia memberi kebanggaan sejarah perjuangan dan keberhasilan Syakranie sebagai seorang saudagar dan tokoh masyarakat yang disegani. Ia juga telah memberi warna persemaian dan arah pertumbuhan bagi keturunanya yang telah beranak-pinak berpencar mengelana jauh Karena memang tidak banyak orang yang mampu membangun rumah semacam itu di lingkungannya.
Bentuk rumah berlanggam campuran Eropa dan Cina. Tiang-tiangnya kokoh sekilas menirukan doric dari masa klasik Romawi yang sudah dimodifikasi dengan cara Tukang Madura. Ukurannya 70x70 dengan jarak hanya 2,5 meter dan tinggi 3 meter. Terlalu angkuh untuk menopang beban struktur atap yang jauh melebihi kapasitas beban yang harus ditanggungnya. Pintu utama rumah berjejer 3 dengan ukuran yang sangat besar dan tak sebanding dengan fungsinya untuk akses keluar masuk ke dalam rumah. Ukuran kayu kusen 15x20 dan jumlah daun pintu membuka keluar dan kedalam masing-masing pintu 4 buah. Jadi dari teras depan dengan 3 pintu, jumlah daun pintu 12 buah. Fantastis. Daun pintu yang membuka ke dalam dihiasi kaca warna-warni bermotif kotak-kotak persis gaya de stijl yang berkembang di Belanda. Tapi permainan kaca warna dengan warna. Dindingnya dipenuhi ornamen geometrikal repetitif bergaya Cina berbentuk segi empat bertumpuk dan menerus. Tentu ornamen ini dari kaca mata modern adalah bentuk inefisiensi sekadar embellist yang secara struktur dan fungsional tak membawa misi apa-apa.
Maka rekonstruksi Rumah tinggal ini bukan lagi untuk misi fungsional semata. Tapi juga sebuah upaya untuk menyatakan diri sebagai tonggak keberhasilan keluarga. Ia menjadi simbol, ikonik dan semiotika arsitektural. Rumah telah menjadi tonggak perjalanan, sejarah perjuangan dan wadah pengasuhan yang melahirkan keturunan dalam warna yang diinginkan oleh para leluhurnya. Didalam rumah suara-suara pernaungan para leluhur masih mengiang dengan tangis dan tawa yang memantul-mantul tak pernah hilang. Tuhan. Lapangkanlah jalan mereka yang telah tak pernah lelah mengasuh kami para keturunannya. Amin
Rumah Keluarga H.Syakranie adalah rumah kenangan bagi keluarga dan keturunannya. H.Syakranie adalah seorang perantau dari tanah Bugis Sulawesi. Tidak ada satupun dari keturunannya yang tahu pasti kapan H.Syakranie mulai menetap di Madura. Kini tak ada satupun juga keluarganya yang tahu kapan rumah itu mulai dibangun. Sudah 5 generasi rumah itu memberikan manfaatnya. Dan selama itu pula rumah ini menyediakan dirinya sebagai atribut eksistensial bagi keluarga dan keturunannya. Ia memberi kebanggaan sejarah perjuangan dan keberhasilan Syakranie sebagai seorang saudagar dan tokoh masyarakat yang disegani. Ia juga telah memberi warna persemaian dan arah pertumbuhan bagi keturunanya yang telah beranak-pinak berpencar mengelana jauh Karena memang tidak banyak orang yang mampu membangun rumah semacam itu di lingkungannya.
Bentuk rumah berlanggam campuran Eropa dan Cina. Tiang-tiangnya kokoh sekilas menirukan doric dari masa klasik Romawi yang sudah dimodifikasi dengan cara Tukang Madura. Ukurannya 70x70 dengan jarak hanya 2,5 meter dan tinggi 3 meter. Terlalu angkuh untuk menopang beban struktur atap yang jauh melebihi kapasitas beban yang harus ditanggungnya. Pintu utama rumah berjejer 3 dengan ukuran yang sangat besar dan tak sebanding dengan fungsinya untuk akses keluar masuk ke dalam rumah. Ukuran kayu kusen 15x20 dan jumlah daun pintu membuka keluar dan kedalam masing-masing pintu 4 buah. Jadi dari teras depan dengan 3 pintu, jumlah daun pintu 12 buah. Fantastis. Daun pintu yang membuka ke dalam dihiasi kaca warna-warni bermotif kotak-kotak persis gaya de stijl yang berkembang di Belanda. Tapi permainan kaca warna dengan warna. Dindingnya dipenuhi ornamen geometrikal repetitif bergaya Cina berbentuk segi empat bertumpuk dan menerus. Tentu ornamen ini dari kaca mata modern adalah bentuk inefisiensi sekadar embellist yang secara struktur dan fungsional tak membawa misi apa-apa.
Maka rekonstruksi Rumah tinggal ini bukan lagi untuk misi fungsional semata. Tapi juga sebuah upaya untuk menyatakan diri sebagai tonggak keberhasilan keluarga. Ia menjadi simbol, ikonik dan semiotika arsitektural. Rumah telah menjadi tonggak perjalanan, sejarah perjuangan dan wadah pengasuhan yang melahirkan keturunan dalam warna yang diinginkan oleh para leluhurnya. Didalam rumah suara-suara pernaungan para leluhur masih mengiang dengan tangis dan tawa yang memantul-mantul tak pernah hilang. Tuhan. Lapangkanlah jalan mereka yang telah tak pernah lelah mengasuh kami para keturunannya. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar