Dua puluh menit keluar dari tol Cileunyi Bandung arah Tasikmalaya. Seusai menuruni jalan terjal menikung Nagreg. Kami putuskan berhenti untuk makan siang dan sholat dhuhur di tempat yang tak kami rencanakan sebelumnya. Di sebelah kiri jalan sebuah tengara berupa sclupture stroberi yang menjulang setinggi bangunan rumah makan khas Sunda menuntun minat kami untuk istirahat sejenak. Sclupture itu memesona kami untuk sekadar memenuhi rasa ingin tahu apa kaitan stroberi dengan rumah makan itu. Dugaan kami semula pasti semua makanan yang dijajakan diolah dengan bahan dasar buah stoberi. Atau didalamnya terdapat hamparan kebun stroberi dan di tengahnya pengunjung bisa makan sambil menikmati keindahannya atau boleh juga memetik dan langsung mencicipinya.
Pelajaran pertama bagi arsitek dan pengelola rumah makan: Betapa rasa keingintahuan telah mengalahkan rasa lapar yang sesungguhnya. Maka buatlah petanda yang unik dan tematik. Biarkan orang penasaran dan tergoda. Bukan melalui rasa tapi melalui penglihatannya.
Sejenak memasuki berandanya, sekali lagi kami dibuat terpana. Sepasang sepeda panjang dengan bentuk yang unik antik sengaja dipajang di sisi kiri dan kanan gerbang menyambut tamu. Sama sekali tidak ada kaitan dengan perkara makan. Tapi inilah bahasa tanda (sign) yang inovatif. Keunikan demi keunikan yang disajikan itu menyiratkan kreatifitas pengelolanya. Mereka sadar betul bahwa selera rasa dapat tergugah tidak saja karena aroma dan cara penyajiannya tapi juga dengan mengenalkan siapa pembuatnya. Atribut-atribut yang dirancang sedemikian rupa itu telah menunjukkan kepekaan pemiliknya tentang selera meramu. Juru masak sebagaimana juga arsitek adalah para seniman peracik. Dan dengan susunan atribut itu telah berhasil menorehkan kesan keahliannya.
Pelajaran kedua, bahwa menjaja tidak saja melulu dengan kata-kata. Diam dalam “tanda-tanda” lebih menampakkan kedalaman bahasa siapa kita. “Tanda” tidak diikat oleh definisi denotatif tetapi lebih konotatif dan karenanya mampu membawa makna keluar mengelana melampaui ujudnya. Ia bisa berjalinan dengan berbagai apresiasi, persepsi dan referensi yang dibekal banyak pihak. Ia membawa tafsirnya sendiri-sendiri…
Memang, menjaja makanan tidak sesederhana yang dibayangkan. Persoalan makan tidak sekadar persoalan rasa tapi juga penampilan pengelola, sikap dan perlakuan pelayanan, tatanan sajian dan nuansa lingkungan.
Makin memasuki ruang-ruang rumah makan itu. Kami merasakan bagaimana kebersahajaan telah menjungkirbalikkan sedemikian rupa warna kemewahan. Ketenangan, keteduhan dan suasana alamiah betul-betul terbangun dengan sempurna. Berbahan bambu sederhana yang disusun dengan cara sederhana seluruh struktur bangunan tampak sangat sahaja. Lantai kasar dari susunan batu sungai dan plesteran semen seadanya seolah bukan dikerjakan oleh para tukang yang sebenarnya tetapi oleh para juru masak dengan perasaan yang terbebas dari intimidasi kebenaran akademika. Tangga-tangga bambu diatas lekuk kemiringan tapak yang tampak sebelumnya bukan lahan berharga karena letaknya tepat di atas tepian jurang. Dan beberapa titian kecil juga tersusun dari bambu-bambu melintasi empang kecil memercik air di antara saung-saung yang berserak. Lampu-lampu ditata menyerupai lentera. Bias cahaya kadang keluar dari belah bambu dan di bagian lain penerangan dipadu dengan bambu serupa sapu lidi terbalik sehingga dari selanya semburat sinar yang memancarkan garis-garis temaram.
Benar-benar alami dan sangat kampung. Sense of place tradisi asitektur di atas tanah tropis Sunda hadir nyaris bagai asalnya.
Persoalan makan ternyata juga masuk dalam ranah sosio-ideologis. Dengan kasat rutinitas pengunjung urban yang disasar dikonfrontasikan dengan nuansa suburban yang telah lama dikenangkan. Sehingga datang dan makan di rumah makan itu bagai diam dikampung halaman. Etnosentrisme yang diusung oleh paradigma postmodernisme dibenturkan pada kejenuhan paradigma modernisme yang telah berhasil menggiring semiotika arsitektur dalam bahasa universalism. Sehingga seluruh ruang urban disodori oleh hanya tatapan tunggal dan menghilangkan keragaman rasa tempat. Sehingga tidak ada lagi orientasi yang bisa dianut. Sawah dan gunung Papandayan di kejauhan dan ruang-ruang yang berjejer bagai saung adalah rona tradisi yang telah lama hilang dan selalu diimpikan.
Dan rumah makan itu telah berhasil menyajikan nuansa yang diharapkan itu…Dan itulah orientasi romantik kampung yang masih tersisa..
Pelajaran terakhir: Menjaja makanan bukan sekadar melulu makanan. Tapi juga persoalan pengaturan nuansa sense of place. Konfrontasikan psikologi pengunjung yang disasar dengan suasana apa yang diharapkan. Urban lawan dengan suburban, universalism lawan dengan regionalism, kemewahan lawan dengan kebersahajaan, riuh lawan dengan sunyi…lautan beton lawan dengan hamparan pesawahan, tiang-tiang baja lawan dengan rimbunan rancah bambu…dan seterusnya……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar