Malam Minggu, 21 November 2009 saya hadir dalam pentas seni dan budaya Madura di Jakarta. Pentas itu berlangsung berkat kerja keras beberapa warga Madura di Jakarta yang bernaung dalam Yayasan Rampak Naong bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta.
Tarian di atas: “Tari Tepak” dipentaskan malam itu.
Sebelumnya dijelaskan bahwa tarian ini baru pulang membawa kemenangan sebagai juara umum di Madrid Spanyol.
Sebelumnya dijelaskan bahwa tarian ini baru pulang membawa kemenangan sebagai juara umum di Madrid Spanyol.
Saya terharu. Betapa dari tanah kelahiran kami yang tandus dan gersang lahir karya kesenian yang memesona dunia.
Sebagai orang awam dalam hal seni tari, saya tak tahu unsur apa yang telah mengantarkannya sebagai juara. Ketika dipentaskan saya hanya bisa merasakan bahwa tarian ini punya nuansa yang berbeda. Gerakannya sederhana. Seringkali terjadi pengulangan ritmis gerak kepala, gerak bahu, gerak lutut yang mengayun ke atas bawah dan ke depan belakang. Tapi justru gerak ini yang menggugah saya untuk terpana. Mungkin dalam hal ini benar Ismail Raji Al-Faruqy, dalam The Cultural Atlas of Islam ia memuji keindahan Al-Qur’an salah satunya adalah karena sifatnya yang repetitif; kalimat-kalimatnya sering mengalami perulangan dalam frase, kata, suku kata, huruf dan bahkan dalam bunyi.
Musik tarian itu dinamis dalam kuasa perkusi dan riuh tambur bagai suara dentum yang datang dari langit-langit. Kostumnya sebagaimana umumnya Madura: meriah. Baju rompi hitam, merah dan perada dengan celana selutut hitam sedikit ketat. Bergelang kaki. Diseling narasi yang dibaca bagai bersajak, bernyanyi, berteriak dan mengeluh dalam intonasi yang berwarna-warni telah merubah tarian itu menjadi sebuah drama. Kadang pilu, kadang marah dan kadang beringas hadir berseling.
Tarian ini menurut saya tak lazim. Mungkin karena ia tumbuh dari masyarakat yang bersahaja? Yang tak peduli pada aras teoritik kesenian baku akademik yang adakalanya justru memenjara kreatifitas dan sibuk menata alasan metodis tampilan dari sesuatu yang tak substansial.
Helena Buvier dalam “La matiere des emotions. Les arts du temps et du spectacle dans la societe madouraise” memandang tari dalam kesenian Madura tidak seperti tari di belahan dunia lain yang diketahuinya. Tari Madura keluar dari mainstream teoritikal. Tari Madura tidak hadir terpisah dalam panggungnya sendiri. Tapi serentak bersama medium yang lain: musik, suara, tembang, gerak, pencak silat dan kelakar masyarakat berbaur dalam keterpaduan tatapan yang tunggal. Karenanya dengan hati-hati ia lebih memilih menyebut kesenian Madura sebagai seni temporal yang sangat sekuensial.
Lalu? Karena itukah tarian ini berhasil menorehkan kesan yang dalam bagi para juri di Madrid? Mungkin…?
Namun, bagi saya, tarian bukan lagi sekadar tontonan. Tapi replika budaya. Didalamnya memantul-mantul hakikat : suara, mata dan telinga kehidupan. Di belakangnya hadir bayang kebersahajaan, kejujuran, kesedihan, kemarahan, kegembiraan, kesengsaraan, kepedulian, kebersamaan dan berbagai romans perasaan.
Sesekali kita memang butuh sajian seperti ini. Untuk sekadar melepas penat dari kungkungan rutinitas keseharian yang monoton..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar